Sabtu, 03 Maret 2018

Pengertian Ruwatan Dalam Jawa

Pengertian Ruwatan Dalam Jawa
Dalam masyarakat Jawa pada umunya mengartikan, ritual ruwat dibedakan dalam tiga golongan besar yaitu :

1.       Ritual ruwat untuk diri sendiri.

2.       Ritual ruwat untuk lingkungan.

3.       Ritual ruwat untuk wilayah.

Pada umumnya, Ruwatan Murwa Kala dilakukan dengan pagelaran pewayangan yang membawa cerita Murwa Kala dan dilakukan oleh dalang khusus memiliki kemampuan dalam bidang ruwatan. Pada ritual Ruwatan, bocah sukerta dipotong rambutnya dan menurut kepercayaan masyarakat Jawa, kesialan dan kemalangan sudah menjadi tanggungan dari dalang karena anak sukerta sudah menjadi anak dalang. Karena pagelaran wayang merupakan acara yang dianggap sakral dan memerlukan biaya yang cukup banyak, maka pelaksanaan ruwatan pada zaman sekarang ini dengan pagelaran wayang dilakukan dalam lingkup pedesaan atau pedusunan.

Proses ruwatan seperti yang diterangkan ini bisa ditujukan untuk seseorang yang akan diruwat, namun pelaksanaannya pada siang hari. Sedangkang untuk meruwat lingkup lingkungan, biasanya dilakukan pada malam hari. Perbedaan pemilihan waktu pelaksanaan pagelaran ditentukan melalui perhitungan hari dan pasaran.

Tradisi “upacara /ritual ruwatan” hingga kini masih dipergunakan orang jawa, sebagai sarana pembebasan dan penyucian manusia atas dosanya/kesalahannya yang berdampak kesialan di dalam hidupnya. Dalam cerita “wayang“ dengan lakon Murwakala pada tradisi ruwatan di jawa ( jawa tengah) awalnya diperkirakan berkembang di dalam cerita jawa kuno, yang isi pokoknya memuat masalah pensucian, yaitu pembebasan dewa yang telah ternoda, agar menjadi suci kembali, atau meruwat berarti: mengatasi atau menghindari sesuatu kesusahan bathin dengan cara mengadakan pertunjukan/ritual dengan media wayang kulit yang mengambil tema/cerita Murwakala.

Dalam tradisi jawa orang yang keberadaannya dianggap mengalami nandang sukerto/berada dalam dosa, maka untuk mensucikan kembali, perlu mengadakan ritual tersebut. Menurut ceriteranya, orang yang manandang sukerto ini, diyakini akan menjadi mangsanya Batara Kala. Tokoh ini adalah anak Batara Guru (dalam cerita wayang) yang lahir karena nafsu yang tidak bisa dikendalikannya atas diri DewiUma, yang kemudian sepermanya jatuh ketengah laut, akhirnya menjelma menjadi raksasa, yang dalam tradisi pewayangan disebut “Kama salah kendang gumulung “. Ketika raksasa ini menghadap ayahnya (Batara guru) untuk meminta makan, oleh Batara guru diberitahukan agar memakan manusia yang berdosa atau sukerta. Atas dasar inilah yang kemudian dicarikan solosi, agar tak termakan Sang Batara Kala ini diperlukan ritual ruwatan. Kata Murwakala/purwakala berasal dari kata purwa (asalmuasal manusia) ,dan pada lakon ini, yang menjadi titik pandangnya adalah kesadaran : atas ketidak sempurnanya diri manusia, yang selalu terlibat dalam kesalahan serta bisa berdampak timbulnya bencana (salah kedaden).

Untuk pagelaran wayang kulit dengan lakon Murwakala biasanya diperlukan perlengkapan sebagai berikut :

1. Alat musik jawa ( Gamelan )

2. Wayang kulit satu kotak ( komplet )

3. Kelir atau layar kain

4. Blencong atau lampu dari minyak.

Mengingat biaya dan waktu yang sangatlah tidak banyak kami dari Lembaga Tahta Mataram Pusat Indonesia, setap satu tahun sekali mengadakan ruwatan massal yang di tujukan dan bisa di ikuti untuk khalayak masyarakat luas.

Untuk Selengkapnya dan konsultasi lebih lanjut silahkan hub staf admin kami di bawah ini atau silahkan click link di bawah ini:
Tlpn/ Sms/ WA: +62 8562 5675 31
Facebook: Ki Rajad Barmawi
Istagram: Ki Rajad Barmawi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nestapamu Belum Seberapa

Nestapamu Belum Seberapa

Nestapamu Belum Seberapa Syekh Abdul Qadir Al- Jailani mengatakan : "  Engkau harus selalu ingat laparnya orang- orang yang kelaparan...